Rabu, 23 Januari 2013

Politik Luar Negeri


Politik Luar Negeri : Sifat, Tujuan, Peran dan Kategori Tindakan.
Dalam dunia akademis, para pemikir ilmu hubungan internasional masih sering mengalami kesukaran dalam membedakan antara hubungan internasional, politik internasional, danpolitik luar negeri. Hal ini disebabkan oleh banyaknya definisi dan istilah yang tidak memiliki persamaan dan perbedaan yang memadai. Untuk menanggapi hal ini, para peneliti seringkali menggunakan berbagai pendekatan, model atau teori untuk menjelaskan dan membedakan antara ketiga istilah di atas.
Pada umumnya, kajian yang dikaji dalam politik internasional merupakan kajian serupa dengan apa yang dikaji oleh politik luar negeri. Keduanya menitikberatkan pada penjelasan mengenai kepentingan, tindakan, serta unsur power suatu negara. Peredaan antara kedua istilah itu mungkin lebih bersifat akademis daripada kenyataan bahwa kedua istilah itu bisa dipergunakan untuk memperkirakan perbedaan antara tindakan dan tujuan (keputusan dan kebijakan) suatu negara atau interaksi antar dua negara atau lebih.[1]
Dalam pengertiannya, politik luar negeri bisa diartikan sebagai berikut :
“Penjumlahan dari sekumpulan tindakan yang terpisah-pisah atau yang hanya secara samar terkait. Di lain pihak, tidak mudah menjumlahkannya, bahkan kompromi di antara berbagai tujuan yang berbeda yang secara internal tidak konsisten atau campuran dari berbagai alat alternatif yang saling bertentangan dalam mencapai suatu tujuan.”[3]
A. Sifat Politik Luar Negeri.
Ketika kita mendeskripsikan sifat dari politik luar negeri, maka kita bisa mengkategorikannya ke dalam 3 bagian, yaitu :
1. Keputusan-keputusan politik luar negeri yang sifatnya umum.
2. Keputusan-keputusan politik luar negeri yang bersifat administratif.
3. Keputusan-keputusan politik luar negeri yang bersifat krisis.
I. Keputusan-keputusan Politik Luar Negeri Yang Sifatnya Umum.
Kebijakan luar negeri yang bersifat umum terdiri atas serangkaian keputusan yang diekspresikan melalui pernyataan-pernyataan kebijakan dan tindakan-tindakan langsung. Misalnya saja containment policy Amerika Serikat setelah Perang Dunia ke-2. Penerapan kebijakan ini meliputi pernyataan-pernyataan resmi presiden, serta tindakan-tindakan khusus seperti perang. Sasaran dari politik luar negeri ini menjangkau lingkungan internasional atau sekelompok negara tertentu, bahkan mungkin juga sasarannya hanya satu negara. Kebijakan-kebijakan umum itu sendiri saling mendukung satu sama lain sehingga kebijakan-kebijakan tersebut membentukk suatu hierarki keputusan yang relatif konsisten.[4]
II. Keputusan-keputusan Politik Luar Negeri Yang Bersifat Administratif.
Berbeda dengan tipe keputusan yang kedua, yaitu administratif. Tipe ini merupakan keputusan yang dibuat oleh anggota-anggota birokrasi pemerintah yang bertugas melaksanakan hubungan luar negeri negaranya. Biasanya lembaga utama yang menjalankan fungsi ini adalah Departemen Luar Negeri, namun badan-badan birokrasi lainnya seperti dinas militer, dinas intelijen, dan departemen perdagangan juga sering terlibat dalam proses pengambilan keputusan-keputusan administratif yang mempengaruhi kebijakan luar negeri. Jadi hubungan antara keputusan umum dan administratif adalah keputusan umum menentukan arah keputusan administratif.[5]
III. Keputusan-keputusan Politik Luar Negeri Yang Bersifat Krisis.
Tipe politik luar negeri yang ketiga yaitu keputusan yang bersifat krisis. Tipe ini merupakan kombinasi antara kedua tipe sebelumnya. Keputusan-keputusan yang bersifat krisis bisa berdampak luas terhadap kebijakan umum suatu negara. Keputusan ini bisa digunakan untuk memperkuat keputusan-keputusan yang sudah ada, ataupun menandai pergeseran politik luar negeri suatu negara. Keputusan krisis diarahkan kepada situasi-situasi kritis meskipun efeknya menjangkau dunia. Keputusan krisis biasanya terbatas hanya untuk beberapa negara yang terlibat langsung dan terbatas pada tindakan saat ini meski konsekuensinya mungkin akan bersifat luas. Kebijakan luar negeri yang bersifat krisis bisa diartikan sebagai suatu kondisi dimana sedikitnya satu negara merasa bahwa suatu situasi merupakan titik balik dalam hubungannya dengan satu atau lebih negara dalam sistem.[6]
B. Tujuan Politik Luar Negeri.
Dalam perkembangan kajian politik luar negeri masa kini, kita bisa melihat bahwa unit politik selalu berusaha mencapai kepentingan pribadi maupun kolektif, serta tujuan yang bersifat kongkret dan utuh. Tujuan utama negara-negara dalam mengkaji kebijakan luar negerinya adalah demi menjaga keamanan nasional, memiliki pengaruh terhadap pihak lain, prestise nasional, dan keuntungan nasional, dengan menggunakan sumber daya yang ada.
Untuk mempermudah dalam kajian politik luar negeri, maka tujuan politik luar negeri bisa kita klasifikasikan ke dalam 3 kriteria utama, yaitu :
1. Nilai, yang berada pada tujuan atau tingkatan nilai yang mendorong pembuat kebijakandan penggunaan sumber daya negara untuk mencapai tujuan.
2. Unsur waktu, untuk mencapai tujuan.
3. Jenis tuntutan tujuan, yang dibebankan atas negara lain di dalam sistem.[7]
Berdasarkan kriteria tersebut, maka kita bisa mengkategorikan tujuannya sebagai berikut :
1. Nilai dan kepentingan inti yang mendorong pemerintah dan bangsa melakukan eksistensinya dalam mempertahankan atau memperluas tujuan sepanjang waktu (untuk mencapai nilai atau kepentingan tersebut bisa dilakukan dengan atau tanpa menekan negara lain).
2. Tujuan-antara (jangka menengah) : biasanya menekankan tuntutannya pada negara lain (komitmen untuk mencapai tujuan ini bersifat serius dan biasanya tujuan ini memiliki beberapa pembatasan).
3. Tujuan jangka panjang, biasanya jarang memiliki batasan waktu untuk mencapainya.[8])
Dalam kenyataannya, para negarawan jarang sekali menempatkan nilai tertinggi dalam tujuan jangka panjang, dan mereka tidak akan menggunakan kemampuan nasional atau kebijakan domestik untuk mencapainya, kecuali jika sasaran yang akan dicapai penting sekali bagi filsafat politik atau ideologi yang dianggap sebagai “inti”  atau kepentingan jangka menengah. Negara yang bergerak  secara aktif untuk mencapai sasaran jangka panjang. Biasanya menciptakan kebutuhan radikal atas seluruh unit politik sehingga menimbulkan ketidakstabilan yang sangat besar.[9]
C. Peran Negara Atas Dasar Politik Luar Negerinya.[10]
Berdasarkan tujuan dan sifat dari politik luar negeri yang telah dijelaskan sebelumnya, maka suatu negara yang memiliki kapabilitas akan memiliki kecenderungan untuk berperan lebih besar dalam politik internasional. Meningkatnya kapabilitas suatu negara, menyebabkan terjadinya transformasi peran dan sifat kebijakan luar negeri. Dalam suatu kebijakan terhadap isu tertentu, suatu negara akan memposisikan dirinya secara resmi dan ditulis dalam sebuah dokumen kenegaraan.
Jika kita mengkategorikan peran suatu negara berdasarkan politik luar negerinya, maka kita dapat mengkategorikannya menjadi :
1. Direct – Central Actors :
Kategori ini dilihat dari peran suatu negara yang menjadi aktor utama dan dalam interaksinya dengan negara lain kedudukannya setara, sehingga antar kedua pihak dapat melakukan proses pertukaran (exchange).
Contoh dari peran ini adalah : hubungan diplomatik (bilateral maupun multilateral).
*Kapabilitas negosiasi kedua pihak bisa dikatakan seimbang / tidak berbeda jauh.
2. Direct – Non-Central Actors :
Kategori ini dilihat dari peran suatu negara yang menjadi aktor utama, namun dalam hal ini mereka hanya berperan dalam mendukung aktor utama lain yang menjadi posisi central. Posisi dan peran ini bisa dikatakan sebagai secondary actors.
Contoh : Inggris tunduk pada komando AS di Afghanistan.
3. Peripheral Actors :
Kategori ini dilihat dari peran suatu negara dalam mensupport kepada pihak / negara lain dalam bentuk transfer sumber daya baik material maupun immaterial.
Contoh : Rusia mendukung Iran dalam Dewan Keamanan PBB.
*Dukungan ini dinyatakan secara resmi, dan tidak ada yang sifatnya rahasia.
4. Target Actors :
Kategori ini dilihat dari peran dan posisi negara yang menjadi sasaran kebijakan suatu negara lain. Posisi ini menyebabkan tidak adanya proses exchange instruments.
Contoh : Indonesia dikenai embargo military aid oleh Amerika Serikat.
5. Intermediary Actors :
Kategori ini dilihat dari peran dan posisi suatu negara yang bersifat netral dalam suatu isu. Tindakan dan peran negara ini disebabkan negara tersebut tidak menginginkan terjadinya resiko yang dapat merugikan mereka, maka mereka memilih untuk berada di tengah-tengah.
Selain itu, posisi sebagai mediator juga dapat dikategorikan ke dalam posisi intermediary actors.
Contoh : Indonesia berperan sebagai mediator dalam proses manajemen konflik kepulauan Spratly di Laut Cina Selatan.
D. Kategori Tindakan.
Hasil / output dari sebuah kebijakan tentunya adalah sebuah tindakan / action. Tindakan negara pada dasarnya merupakan pelaksanaan dan penerapan kebijakan yang telah ditetapkan / sebagai implementasinya. Pembahasan mengenai output politik luar negeri dilihat berdasarkan beberapa faktor, yaitu faktor psikologi, sosial, sistemik, etika, dan hukum yang merupakan kondisi relevan dalam pembuatan kebijakan.[11]
Kategori tindakan dapat dibagi ke dalam beberapa kategori, yaitu :
1. Inaction :
Tindakan ini dilihat dari pernyataan resmi suatu negara yang menyatakan dengan tegas tidak melakukan tindakan. Perannya dapat juga dikategorikan sebagai intermediary actors. Namun walaupun tidak bertindak, tindakan inaction ini juga dianggap sebagai sebuah tindakan.Inaction is an action.
2. Supportive Actions :
Tindakan ini dilihat dari dukungan suatu negara terhadap negara lain dalam isu tertentu.
3. Opositional Actions :
Tindakan ini dilihat dari posisi suatu negara yang berlawanan dengan negara lain.
4. Neutral Actions :
Tindakan ini dilihat dari posisi suatu negara yang tidak berpihak pada pihak manapun dalam suatu konflik ataupun pembahasan suatu isu.
5. Inducive Actions :
Tindakan ini dilihat ketika suatu negara memberikan bantuan dan dukungan material maupun immaterial kepada negara lain, tanpa mengharapkan tindakan balasan.
6. Isolation :
Tindakan ini merupakan tindakan menutup diri yang dilakukan suatu negara.
7. Eccentricity :
Tindakan sebuah negara yang berlawanan dan tidak sesuai dengan norma-norma dan aturan internasional yang berlaku.

[1]Lihat Fred A.Sondermann, “The Linkage Between Foreign Policy and International Politics”, dalam International Politics and Foreign Policy : A Reader in Research and Theory, ed. James Rosenau (New York : Free Press, 1961), halaman 8-17.
[2]) K.J.Holsti, “Internastional Politics : A Framework for Analysis” (New Jersey : Prentice-Hall, Inc., 1977), halaman 26.
[3]) Kutipan dari buku Dean Acheson, “Meetings at the Summit : A Study in Diplomatic Method” (Durham, New Hampshire : University of New Hampshire Press, 1958) yang diambil dari buku William D.Coplin dan Marsedes Marbun, “Pengantar Politik Internasional : Suatu Telaah Teoritis Edisi Kedua” (Bandung : Sinar Baru, 1992) halaman 32.
[4]) Ibid. Dikutip dalam Bab II yang berjudul Perilaku Pengambilan Keputusan Politik Luar Negeri – sub-bab Sifat Politik Luar Negeri. halaman 32-33.
[5]) Marcus Alexis dan Charles Z.Wilson, ed., “Organizational Decision-Making” (Englewood Cliffs, New Jersey : Prentice-Hall, 1967)
[6]) Op.Cit. William D.Coplin dan Marsedes Marbun.
[7]) Op.Cit. K.J.Holsti dalam Bab 5 Tujuan Politik Luar Negeri sub-bab Jenis Tujuan Politik Luar Negeri. halaman 175.
[8]) Arnold Wolfers telah menguraikan suatu alternatif pola untuk mengklasifikasikan tujuan, ia membedakan antara aspirasi dan sasaran kebijakan yang sebenarnya, perbedaan keduanya seperti perbedaan antara tujuan jangka panjang dan tujuan lainnya yang berjangka pendek. Tujuan pemilikan (possesion goals) berkaitan dengan usaha pencapaian kebutuhan dan nilai-nilai nasional. Sedangkan sasaran lingkungan (milieu goals) merupakan kondisi eksternal yang hendak diubah. Wolfers juga membedakan antara tujuan nasional dan tujuan tidak langsung, yang serupa dengan konsep “kepentingan kolektif” dan “kepentingan pribadi”, Lihat Arnold Wolfers, “The Goals of Foreign Policy”, dalam buku Discord and Collaboration : Essays on International Politics (Baltimore, Md.: John Hopkins Press, 1962) Bab 5.
[9]) Op.Cit. K.J.Holsti, halaman 176.
[10]) Bagian ini diambil dari materi perkuliahan Politik Luar Negeri (SIR/201) HI-UNPAR 2009, Adrianus Harsawaskita, M.A.
[11]Op.Cit. K.J.Holsti. Bab 12 Penjelasan Mengenai Output Politik Luar Negeri. halaman 459.

0 komentar:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.